Jakarta, Kemdikbud --- Berdirinya Galeri Nasional Indonesia (GNI)
merupakan salah satu upaya pembangunan Wisma Seni Nasional atau Pusat
pengembangan Kebudayaan Nasional yang telah di rintis sejak tahun
1960-an. Melalui prakarsa Dirjen Kebudayaan pada waktu itu, Edi
Sedyawati, di perjuangkan pendirian GNI pada tahun 1995. Pada tahun 1998
pendirian GNI telah disetujui melalui surat persetujuan Menko
Pengawasan Pembangunan dan pendayagunaan Aparatur Negara
No.34/MK/WASPAN/1998, kemudian ditetapkan melalui Kepmendikbud
No.099a/0/1998 dan diresmikan operasional pada tanggal 8 Mei 1999 oleh
Mendikbud, Yuwono Sudharsono. Berdasarkan Permendikbud No. 72 Tahun
2012, GNI merupakan unit pelaksana teknis di lingkungan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Direktur Jenderal Kebudayaan. “Walaupun GNI baru 15 tahun
berdiri, sudah banyak program kegiatan yang telah dilaksanakan dengan
tiga pola bentuk kegiatan, yaitu kegiatan internal, kegiatan kerjasama,
dan kegiatan yang di inisiasi dari masyarakat atau komunitas,” kata
Kepala Galeri Nasional Indonesia, Tubagus Andre Sukmana, di kantornya,
Kamis (30/01/2014). Ia mangatakan, kebudayaan memiliki peran penting,
yaitu pelestarian. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Cagar Budaya
diterjemahkan dan disepakati bahwa pelestarian itu tidak hanya berhenti
pada perlindungan, tetapi juga pada pengembangan dan pemanfaatan.
Sehingga, kata Andre, tujuan dari GNI adalah untuk melindungi,
mengembangkan dan memanfaatkan koleksi seni rupa sebagai sarana edukasi,
kultural dan rekreasi, serta sebagai media peningkatan kreativitas dan
apresiasi seni. GNI yang berlokasi di seberang Stasiun Gambir ini
menyimpan, menghimpun, dan memamerkan karya seni rupa seperti lukisan,
sketsa, grafis, patung, keramik, fotografi, seni kriya, dan seni
instalasi. Saat ini GNI memiliki koleksi sekitar 1.785 karya seniman
baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Dalam mempromosikan koleksi
dan hasil karya tersebut, GNI memiliki kegiatan pameran sebagai salah
satu kegiatan yang dilaksanakan. “Kita melakukan pameran-pameran di luar
negeri dan kita juga aktif di forum-forum internasional, melalui
konvensi, pertemuan-pertemuan para direktur Galeri Nasional se-Asia,
serta juga terlibat di Internasional Komite Museum Sedunia,” ungkap
Andre. Pendaftaran peserta pameran GNI dilakukan secara selektif, dengan
penilaian melihat portofolio peserta melihat perjalanan pameran mereka
di mana saja, mendapatkan penghargaan apa saja, hasil karya apa saja
yang sudah dihasilkan, serta apa yang ditawarkan dari hasil karyanya.
"Apakah ada sesuatu yang baru atau hasil karya yang lama," kata Andre.
Dengan begitu, diharapkan pencitraan peserta pameran dipandang tinggi
dan berkelas, serta meningkatkan nilai ekonomi hasil karya peserta.
Andre menambahkan, walaupun dengan sistem yang selektif, GNI tidak
inklusif sekali, karena Galeri Nasional hanya satu di Indonesia, karena
itu harus ada program-program skala nasional. Program rutin dilakukan
setiap dua tahunan seperti pameran seni nusantara, yang merupakan forum
untuk mengakomodir potensi-potensi dari berbagai daerah. Jadi kita bisa
menampilkan karya-karya dari berbagai daerah seperti Ambon, Papua, dan
lain-lain. GNI memiliki lima kurator, yaitu terdiri dari Rizki A.
Zaelani dari ITB, Suwarno Wisetrotomo dari ISI Yogyakarta, Citra Smara
Dewi Dekan seni rupa IKJ, kemudian 2 dari independent, Kuss Indarto
pengamat dan penulis dari Yogyakarta, dan Asikin Hasan dari Salihara.
Durasi yang tawarkan untuk pameran minimal satu minggu dan maksimal satu
bulan. "Kalau kita menerima sekian puluh program kegiatan pameran, maka
durasi waktunya akan di bagi-bagi, ada yang satu minggu ataupun dua
minggu dan satu bulan," jelas Andre. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat
dapat melihat hasil karya seni dalam waktu yang tidak singkat. Kegiatan
lain dari GNI adalah melaksanakan preservasi, akuisisi dan dokumentasi,
seminar, diskusi, workshop, performance art, pemutaran film atau video,
festival, lomba, dan juga GNI memberikan pelayanan riset koleksi dan
pemanduan untuk pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum. Saat ini GNI
sedang melakukan revitalisasi dan perbaikan-perbaikan infrastruktur.
Diharapkan nantinya dapat dijadikan alternatif tempat presiden menerima
tamu-tamu negara. “Karena di banyak dunia menggunakan Galeri Nasional
sebagai pendekatan soft power melalui diplomasi budaya,” ungkapnya.
(Seno Hartono)